Oleh : Ponirin Mika*
PROBOLINGGO - Sorak-sorai, penuh gembira terjadi di seantero Nusantara, tatkala Timnas Indonesia melakoni pertandingan resmi maupun persahabatan. Sepintas, ini menandakan bahwa olah raga sepak bola menjadi olah raga yang cukup disenangi oleh masyarakatnya. Masyarakat Indonesia selalu terhibur dengan tontonan sepak bola Timnas, mulai dari U22 sampai U19, meski akhirnya Tmnas U22 harus bangga dengan juara III, di salah satu pertandingan bergensi tingkat Asia. Dalam sepak bola bukan hanya persoalan skill play akan tetapi sopan santun dan mental (Coach Indra Safri), untuk menanamkan kemampuan tersebut, kami melakukannya sejak U19., sambungnya.
Baca juga:
Gus Yahya dan Harapan Masa Depan NU
|
Menengok permainan Timnas U19 melawan Timnas Thailand (15/9), masyarakat Indonesia layaknya menyaksikan antara Barcelona Vs real Madrid. Dimana, tiki-taka Timnas Indonesia membuat Timnas Thailand tak berkutik sampai akhirnya Timnas Thailand tidak mampu mengembangkan permainan secara maksimal. M. Rafli Mursalim, Egi Messi, Rahmat Iriyanto, Witan Sulaiman, M. Iqbal, Feby Eka dan lainnya, membuat Timnas Thailand seakan tak percaya permainan Timnas Indonesia U19 seindah itu. Permainan yang indah tidak jua mengantarkan menjadi pemenang berupa kuantitatif gol, namun mampu membius mata pecinta bola, untuk bersuara lantang dengan kalimat Timan U19 kalian Juara.
Tim yang menyerang akan menang tetapi Tim yang bertahanlah yang akan menjadi juara (Alex ferguson). Kata ini pantas untuk disandingkan ke Timnas Thailand U19, mereka melakukan permainan defensif saat ofensifitas Timnas Indonesia U19 tak terelakkan. Dibalik itu, dewi fortuna tidak berada ditengah-tengah Timnas Indonesia. Saat ada harapan untuk mengobait sesak nafas, akibat kekalahan Timnas U22 kepada Timnas Thailand U22, ternyata sesak nafas harus bertahan lebih lama, inilah sepak bola, permainan yang mengundang kegembiraan juga kesedihan.
Ketidak Bijaksanaan Tim, akan terjadi apabila Tim tersebut, hanya ingin mendapatkan piala, tapi tidak akan terjadi bagi Tim yang menginginkan juara. Saddil Ramdani adalah salah satu korban, ketidak sportif-an pemain Thailand Wudtichai Kumkeam. Akibat ulah dia, saddil reflek melakukan sikutan dan mengenai dada Kumkeam, kartu merah dari wasit menjadi hukuman untuk saddil ramdani. Ini bagian dari sebuah permainan, terkadang sangat menyejukkan dan bisa juga menyakitkan. Coach Indra Safri pun menyayangkan kartu merah untuk saddil, tapi keputusan wasit diatas lapangan adalah segalanya. Moment ini, mengingatkan kita pada pertandingan Italia Vs Perancis, dimana tandukan Zinedine Zidane kepada Marco Materazzi, hingga berujung pengusiran Zidane di atas lapangan hijau. Ulah provokasi dalam memncing emosi lawan acap kali terjadi pada pertandingan kelas dunia.
Mursalim : santri Untuk Bangsa
Baca juga:
Sang Pengayom Telah Pergi
|
Disisi lain, kehadiran M. Rafli Mursalim, menambah kebanggaan masyarakat Indonesia, seorang santri dari Pondok Pesantren Al-Asyariyah Banten, menjadi pledator pencetak gol terbanyak LSN 2016. Sehingga mengantarkan dia untuk menjadi salah satu punggawa Timnas U19 2017. Seorang santri yang identik dengan kaum sarungan dan kitab kuning, mampu menjawab bahwa santri bisa berkontribusi melalui bidang olah raga apapun, lebih-lebih olah raga sepak bola. Hal itu menadakan bahwa Pesantren tidak menutup diri melihat kebutuhan-kebutuhan zaman di era globalisasi. Dan, saat ini sepak bola menjadi magnet dalam mempersatukan anak bangsa yang hampir terkotak-kotak. Rafli mursalim, satu dari sekian santri yang mempunyai bakat dalam mengembangkan skill bermain bola. LSN, menjadi wadah untuk menggali potensi-potensi seperti ini gara tercipta persamaan dalm menciptakan keadilan bagi rakyat Indonesia dalam berbagai macam unit apapun. Di beberapa pesantren olah raga sepak bola mendapat fasilitas yang baik. Maka, jangan heran apabila ada alumni Pesantren yang memunyai skill luar biasa dalam bidang olah raga ini, karena pada saat menjadi santri Pesantren memberi ruang untuk mengembangkan segala potensi skill yang dimiliki santri.
Keterampilan menggocek bola dikuasai oleh Timnas U19, namun mentalitas masih perlu dibina, agar balance antara keterampilan skill menggoreng bola melewati kaki-ke kaki, dengan mental Juara yang ditandai dengan sikap dewasa dalam menghadapi provokasi Tim lawan. Ini problematika mendasar yang dihadapi oleh Garuda Muda. Saya yakin tim peatih Timnas tidak hanya menyiapkan pelatih fisik, melainkan juga pelatih mental (non fisik). Menit bermain dengan club elite sebuah keniscayaan, untuk mempersiapkan mental bertanding dari hari kehari.
Mentalitas menjadi salah satu alat ukur, utuk mengetahui kematangan pribadi bangsa, terutama para pemudanya. Bangsa yang merdeka adalah bangsa yang mempunyai mimpi besar untuk mewujudkan kemerdekaan dan kemerdekaan akan termanefestasi melalu sikap ktsatria melalui kedewasaan dalam menentukan sikap dan perbuatan.
Apapun hasil pertandingan Timnas Indonesia, kami bangga mempunyai tim seperti kalian, yang pantang menyerah layaknya kaum sparta. Jayalah Garuda Muda, Perjalananmu masid panjang.
Baca juga:
Mondoklah di Pesantren?
|
Wallahu’alam
*Ketua Lakpesdam MWCNU Paiton Probolinggo dan Anggota Community of Critical Social Research, Probolinggo.